SELIPAN
HUJAN HATI
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Asyhadu alaa ilaaha
illallah
Wa asyhadu annaa
muhammdarrasulullah
Ya Rab,,,,
Atma (jiwa) ini lemah,
ibarat daun kering. Tatkala
digenggam, maka! seketika akan remuk dan hancur,,,
Atma ini tak bernafas,
ibarat tanah gersang yang tiada
terpancar kehidupan.
Jika dicangkul, maka! Patahlah ia
seketika……
Engkaulah yang Maha Pemberi
Kehidupan dan Kekuatan
Tanpa nikmat dan rahmat- Mu
atma dan raga ini
tiada kuat menahan segala cobaan
dan rintangan di hadapan mata
Diri ini, tiada berilmu dan rendah
di hadapan- Mu
ilmu yang melekat dapat dihitung
dengan jemari
Tanpa kekuatan- Mu
Diri ini kian tersungkur.
Maka dari itu, tolong dan
lindungilah diri yang berlumur dosa ini, dalam menempuh kesuksesan di jalan-
Mu.
Jauhkanlah segala kekeliruan dan
tetapkanlah dalam keistiqomahan,,,,,,,,
Dan diri ini sangat memohon, Ya
Rabb
jagalah hati orang tua yang telah
menjaga dan memelihara diri ini dengan penuh kasih sayang dan tempatkanlah
mereka disebaik- baiknya tempat yaitu surga-Mu yang mengalir sungai di bawahnya
serta pertemukanlah kami di sana layaknya penghuni surga.
Di mana kehidupan dunia yang penuh
gemerlap kebahagiaan sungguh menggoyah keimanan.
Karena itu, tunjukilah kami jalan
yang lurus yaitu jalan yang Engkau rahmati,,,
Bukan jalan orang- orang yang
Engkau murkai,,,,,,,,
Wasalallaahumma ‘ala
syaidinaa Muhammad
wa ‘alaa aalihi wa shohbihi wa sallim.
Aamiin ya rabbal
‘aalamiin….
Tanpa
tersadari hujan hati bergelimang dan membasahi pipi Ana. Seusai ia sholat
tahajud seraya berdo’a dengan penuh kekhusyu’an, ia pun membaca al- qura’an
yang mana itu merupakan sahabatnya yang selalu menerangi tiap langkahnya.
Tiada terasa,
pengumuman kelulusan SMA pun akan segera dipublikasikan esok hari. Perasaan
yang penuh harapan mengalir di jiwa. Dengan seketika, jantung pun berdetak
kencang hingga membuat aliran darah berdesir- desir. Seusai bersiap- siap, Ana
pun segera berangkat ke sekolah meskipun perasaan penasaran mengarungi jiwa.
“Bunda, ayah. Mohon do’a kesuksesannya ya.” Kata Ana. “Ia anandaku tersayang.
Do’a kami selalu menyertaimu, anandaku. Hati- hati di perjalanan.” Jawab orang
tuanya sambil mengelus- elus kepalanya. “Assalammu’alaykum bunda, ayah.” kata
Ana sambil mencium kedua tangan yang sangat berjasa di dalam hidupnya.
“Wa’alaykumsalam wr.wb.” jawab orang tuanya dengan penuh rasa kasih sayang.
Pohon rindang nan besar
telah terlihat dari kejauhan. Tampaklah kehijauan yang memancarkan keindahan
yang merona dan menyejukkan jiwa karena kuasa- Nya yang telah memberikan
kehidupan. Perjalanan, dekat kian mendekat di Musholah yang ia dan para
sohibnya amat cintai. Yang mana, itu ialah salah satu tempat yang sering mereka
tempati dalam berjuang menempuh kesuksesan di Jalan- Nya. Sesampainya, ia
langsung melangkahkan kakinya untuk melaksanakan rutinitasnya yaitu sholat
dhuha. “Assalammu’alaykum,” kata Ana. “Wa’alaykumsalam, Ana coba rasakan detak
jantungku berdebar- debar terus seakan- akan tidak akan berhenti kecuali
pengumumannya telah diperdengarkan.” Jawab sobatnya mendesak Ana. “Ia Vi, apa
yang dirasakan sama dengan apa yang Ana rasakan. Tenang aja, kita kan sudah
berusaha dan berdo’a semaksimal mungkin dan semampunya. Ana yakin apa yang
telah kita usahakan selama ini bersama sobat lainnya tak akan sia- sia.” Jawab
Ana dengan senyuman. Ana pun mengelus bahu sobatnya sembari meninggalkannya untuk
melaksanakan rutinitas seperti sobat- sobatnya yang lain.
Semuanya telah
dikumpulkan di Aula sekolah untuk mendengarkan pengarahan dari Kepala
Sekolah. Setelah itu, Ana dan sobat-
sobatnya yang lain pun segera memasuki ruangan kelasnya masing- masing dengan
kondisi jantung yang terus berdebar- debar dengan diikuti desiran aliran darah
yang begitu deras.
Kemudian, seusai semua amplop pengumuman
dibagikan mereka berkumpul di bawah pohon beringin yang suasananya begitu sejuk
dan nyaman. Lalu, mereka sepakat untuk mebukanya secara bersamaan. “Ayo, sudah
siapkah semuanya???” kata Ana. “Insya Allah sudah siap,” jawab sobat- sobatnya
dengan penuh keyakinan namun terselip ketegangan. “Bismillaahirrahmaanirrahiin.
Mulai ya! 1, 2, 3. Di buka!” aba- aba dari Ana. “Kreeeeek, krek, kreeeeeeek”,
setelah semuanya membuka amplop dengan mengintip- ngintip apa yang tertera di
sana. Semua wajah yang terpancar dari mereka ialah wajah kebahagiaan yang
tentunya beda dengan teman- teman yang lain. Karena, mereka mengerjakan soal-
soal ujian dengan penuh kejujuran dan kejujuran itu sulit untuk dilaksanakan
oleh siswa/i yang sedang mengikuti Ujian Nasiaonal. Karena, mereka berfikir
hanya untuk memperoleh nilai saja tanpa memikirkan akhlak dan ilmu apa yang
telah melekat dalam diri mereka selama jenjang pendidikan yang telah dilalui.
Seharusnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik pula
akhlak yang terbentuk dan melekat dalam diri seseorang. Mereka amat menjunjung
tinggi sifat jujur. Karena, itu merupakan salah satu dari sifat- sifat rasul.
Dengan serentak mereka
mengucapkan lafal hamdalah, ”Alhamdulillaahirabbal’aalamiin” Perasaan terasa
ringan dan hati pun menjadi tenang sehingga memancarkan cahaya keceriaan dan kenyamanan
di wajah. Mereka semua pun berpelukan dengan keadaan bergelimangan air mata.
Air mata yang jatuh merupakan hujan hati karena uap kebahagiaan akan perjuangan
yang mereka lewati bersama- sama. Hujan badai, terik panas matahari yang
terkadang membuat jiwa raga mereka menjadi kedinginan, kepanasan yang
menimbulkan kelaparan dan kehausan. Mereka pun seraya bertakbir dengan
mengangkat genggaman mereka dengan penuh semangat dan syukur, “Allaahuakbar.”
Hati mereka pun tergerak
untuk melangkahkan kaki menuju tempat penenangan pikiran yang sering mereka
kunjungi sewaktu kepala mereka mulai terasa melewati batas memori untuk
berjuang mengisi peluru dan berperang menuntaskan semua soal- soal Ujian
Nasional dengan penuh keyakinan dan konsentrasi. Namun, suara adzan yang
menyejukkan hati pun telah berkumandang dengan indahnya. Mereka pun lebih
memilih untuk sholat terlebih dahulu.
Setelah sholat ashar
mereka langsung ke tempat tujuan. Mentari sore begitu indah yang menyilaukan
pandangan mata, angin sepoi- sepoi melintas di sekitar mereka yang sesekali
menyingkap jilbab mereka namun begitu sejuk dan nyaman. Pepohonan cemara dan
kelapa melambai- lambai dengan begitu tenang seakan- akan menyapa mereka dengan
ceria dan bahagia melihat lukisan wajah mereka yang begitu tenang dan bahagia.
Ombak air menepis bebatuan yang memercikkan butiran air ke arah mereka. Langkah
kaki dihentakkan di tepi lautan dengan penuh semangat. Langkah lari- larian
kecil meninggalkan jejak di pasir putih yang lembut. Pancaran sinar mentari membuat
air lautan berbinar- binar bagaikan mutiara. Tawa dan canda mewarnai hari- hari
mereka dan sinar mentari menyerap di jiwa seakan- akan memberikan energi keistiqomahan
dalam diri mereka.
Tiba saatnya untuk
persiapan SNMPTN tertulis, layaknya seperti UN mereka berjuang dan saling
mendo’akan satu sama lain. Namun, Ana lebih memilih untuk menulis novel
ketimbang belajar penuh untuk SNMPTN. “Ana aku jarang lihat kamu belajar untuk
tes SNMPTN,” tanya sohibnya yang lain. “Iya, Ana hanya belajar tes TPA nya saja,”
jawab Ana dengan santai sembari tersenyum.
Tidak terasa satu bulan
telah terlewati, hari ini permulaan untuk tes SNMPTN. Ana mengerjakan soal-
soal SNMPTN dengan penuh percaya diri. Walaupun, ia hanya belajar sedikit. Itu
pun tentang tes TPA. Sedangkan tes mata pelajaran yang lainnya pun, ia hanya
mengandalkan ingatan apa yang ia pelajari di saat berjuang dalam menempuh UN
bersama sohib seimannya.
Sesampainya di rumah,
mata tertuju padanya. Tatapan yang diberikan ialah tatapan kesedihan. Lukisan
wajah begitu suram. Hatinya pun berkata- kata dan perasaan penasaraan
mengarungi jiwanya. “Umi, umi Rifqy dan Daffa digilas truk. Kepalanya!!!” kata
keluarganya dengan penuh kesedihan yang membuat aliran hujan hati bergitu
deras. Dengan seketika, Ana pun tersentak dan terduduk seraya mengucapkan
“Innaalillahi wa inna ilaihi raaji’uun.” Mata Ana berkaca- kaca yang
mengakibatkan turun hujan hati yang membasahi pipinya. Hari telah sore,
sebentar lagi akan maghrib. Ana menahan dirinya untuk pergi ke sana. Namun, ia
hanya bisa melihat lewat siaran TV di wilayahnya. Raga yang telah terbujur kaku
diangkat oleh penduduk di sekitar sana ke mobil dan membawanya ke Rumah Sakit.
“Guru SMPN 10 yang bernama Anita digilas truk saat menuju ke sekolah di mana
tempat ia mengajar. Awalnya, ada seseorang anak sekolah menyerempetnya sehingga
ia terjatuh dan na’asnya lagi ketika itu sedang ada truk batu bara yang
melintas dengan kecepatan tinggi sehingga tidak dapat terkendali dan
mengakibatkan guru tersebut tergilas dengan keadaan kepala yang remuk bahkan
seperti lempengan. Sedangkan suasana di keluarganya begitu memprihatinkan.
Berikut tayangannya!” Ana hanya terdiam menonton tayangan TV itu dan mengelus
dadanya seraya mengucapkan lafal istighfar. Dia hanya berkata- kata di dalam hatinya
dan sejenak ia teringat dengan apa yang tantenya sampaikan di minggu kemarin,
“Bungsu, nanti mau jadi apa? Guru ya! Jadilah guru, supaya bisa gantikan
tante.” Ucapan almarhum yang hanya bisa Ana jawab dengan senyuman.
Semuanya telah rapi,
Ana dan sohibnya beserta keluarganya berangkat untuk takziah. Ana dan sohibnya
larut dalam cerita sambil memandang indahnya titik- titik bintang yang berbinar- binar di Langit. Mata
mereka pun berkaca- kaca. “Stop, ayo, ayo mau menangis ya?” kata mereka dengan
serentak dan saling menunjuk satu sama lain. Karena itu, tangis mereka pun
tertahankan.
Ramainya langkah kaki
dan kepala yang mendatangi rumah orang tua tantenya, mata bengkak, wajah yang
begitu merah, ribuan tisu telah terpakai, nada bicara yang tersendak- sendak,
raga yang gemetaran dan perasaan haru yang menelan suasana malam itu. Memandang
anandanya yang masih berumuran kecil bahkan belum sekolah dan ada yang belum
bisa duduk. Melihat peteknya, yaitu abinya menggendong mereka dengan wajah
sedih dan lesu. Ana terus memandang dua wajah mungil yang digendong hingga
tertidur dipelukan abinya. Namun, pelukan itu terasa berbeda dengan pelukan dan
dekupan hangat seorang Bunda. Kehangatan pelukan dan dekupan itu telah pergi
meninggalkan mereka. Sesekali mereka tersentak dari tidurnya dan seraya
berkata, “Abi, mana ummi? Ummi bi? Ummi bi? Ummi mana, bi? Mau sama ummi?”
ucapan tanpa dosa yang begitu murni kerinduannya terhadap seorang Bunda. Lagi-
lagi mata mereka berkaca- kaca.
Sepulang dari sana, Ana
bersama yang lainnya pamit untuk pulang dan mencium pipi dua wajah mungil yang
tanpa dosa. Pekat dan terlukis bekas kesedihan di wajah mungil itu dengan
tangisan kerinduan. “Tek, Ana pulang dulu ya. Sabar ya, tek? Assalammu’alaykum,” kata Ana dengan mata yang
berkaca- kaca. “Ya dik, insya Allah akan mencoba untuk bersabar dan
mengikhlaskan tantemu. Wa’alaykumsalam.”
Sesampainya Ana di
rumah, ia langsung menuangkan isi hatinya yang terpancar dari kesedihan apa yang
sedang dirasakan dengan si mungil yang lucu.
Seberkas sinar memasuki
hati
kehangatan bermuara di
jiwa
mengalir deras di
aliran darah
seketika! detak jantung
yang berlari
kian berjalan
melangkah dengan
santainya
nyaman,
hangat,
tenteram dan
kesejukan
menghiasi diri
hanya!
dengan dekupan hangat
sang permata hati,
cahaya pelita
Ummi
ummi
ummi
seketika kehangatan itu
lenyap
cahaya pelita kian
meredup
kesejukan berganti
kegerahan
aliran darah berombak
detak jantung kian
berhenti
kemanakah diri ini
mencari dekupan itu?
sendiri dalam gelap
malam
tiada cahaya, menahan
geman
tubuh ini bergetar
memproduksi keringat
detak itu dan aliran
itu
terombang- ambing
berharap sandaran
namun, tak kunjung tiba
sandaran siapakah harus
dipinta?
kelopak mata tersadar
dari bungkaman
pandangan bersinar
deraian air mata
terhapuskan
keresahan seketika
berubah
seperti sedia kala
yaitu kesejukan
hanya dengan setitik
cahaya
dari- Nya
bersandar dengan- Mu
ialah
jalan menuju rahmat dan
ridho- Mu
yang membersihkan
kapas putih dari
hitamnya
Cahaya- Mu
penuh cinta dan kasih
kan diri ini genggam
erat
Tak
terasa air mata terjatuh di buku diarinya yang menyebabkan tinta emasnya
menyebar. “Semuanya itu, ialah milik Allah. Jadi, sesuai kehendak Dia. Mau
kapan dan dimana pun merenggut sesuatu atau seseorang yang amat kita cintai.
Kita, jangan sampai cinta akan Dunia yang fana ini, yang penuh godaan sehingga
terkadang iman dan taqwa kita sering berfluktuasi. Semangat Ana! Hapuslah
kesedihan dan jangan larut dalam kesedihan!” ucapan Ana untuk membangkitkan
dirinya.
Beberapa
hari kemudian, Ana dipinta untuk mengasuh si mungil Rifqy. Karena, keluarga
yang lainnya sedang sibuk dengan urusan mereka masing- masing. Sedangkan
adiknya, telah dititipkan kepada saudara abinya yang memang bahagia dengan
kehadirannya. Karena, sudah sepuluh tahunan keluarga saudaranya yang telah
menikah belum dikaruniai anak. Melihat dikeluarganya sulit untuk memperoleh
keturunan, Ana pun menjadi was was. Karena, jika seorang wanita dinyatakan
mandul maka wanita itu akan merasa gagal menjadi istri dan kebahagiaan tak akan
lengkap tanpa kehadiran buah hati.
“Ini
bang, bungsu datang. Tadi cari- cari bungsu. Ini bungsunya. Abang main sama
bungsu ya. Abi mau kerja dulu ya. Jangan nakal ya?” kata Abinya sambil merayu
anaknya. “Ehm, iya bi. Hati- hati ya bi. Jangan ngebut bi.” Jawab anak umur 4 tahunan yang sudah bisa menasihati
abinya. Ana pun memeluk dan mencium Rifqy dengan penuh kasih sayang. “Abang
sudah makan?” tanya Ana. “Belum, nggak mau makan!” jawabnya. “Ntar kalo abang
nggak makan, bisa sakit lho. Nah, gini aja! Kalo abang mau makan nanti bungsu
putarin kaset kartunnya.” Kata Ana berusaha merayunya. “Ehmmm, tapi abang mau
telurnya didadar. Nggak mau pakai bawang.” Balas si mungil. Melihat dan
memandang wajah yang masih merindukan dekupan seorang bunda. Dengan tangannya,
ia memasak dan menyuapnya makan sekaligus
menidurkannya. Ana berfikir, “Jadi beginilah tugas seorang ibu dalam merawat
buah hatinya. Ya Allah, begitu besar jasa seorang ibu bagaikan buih di Lautan
yang tak terhingga. Subhanallah.” Karena kekenyangan, Rifqy pun mengantuk
kemudian tertidur dipangkuannya. “Ya Allah, tabahkanlah kami dan semoga ananda-
anandanya bisa menjadi anak yang sholeh dan imam yang baik.” Seraya Ana berdo’a
di dalam hatinya. Tampak begitu lesu dan letih ketika sudah berhari- hari tidak
bisa tertidur pulas. Wajah mungil tanpa dosa telah ditinggalkan oleh satu
dekupan hangat.
“Mana
bungsu? Bungsu? Abang mau sama bungsu! Bungsu!” tangisan si mungil mengejutkan
semua penghuni rumah. “Ana, cepat pulang. Rifqy cari- cari kamu.” Ketikan sms
dari keluarga lainnya.
“Ini,
abang qy dari tadi sudah dibujuk tapi tetap nggak mau bersihkan bekas
kotorannya yang cukup sudah lama menumpuk dicelananya. Katanya mau dibersihkan
sama bungsu aja dan nggak mau dengan yang lain.” Kata keluarga Ana yang lain
dan tampak kualahan menjaga Rifqy ketika ditinggalkan Ana meskipun hanya
sebentar.
“Ya
Allah, dengan ini Engkau telah mengajarkan aku tentang dahsyatnya perjuangan
seorang ibu.” Seraya Ana berdo’a, sembari membersihkan kotoran adiknya Rifqy.
Semenjak
itu, hari demi hari Ana habiskan untuk menemani Rifqy yang tampak kesepian dan
rindu akan kehangatan yang telah lenyap meninggalkan dirinya. Terik matahari
telah terpancarkan dalam keadaan lurus, Ana kebingungan bagaimana cara pergi
liqo’ sementara Rifqy belum mau tidur. Ana sudah coba merayu Rifqy tapi dia
tetap nggak mau lepas dari pangkuan Ana. Sebenarnya, Rifqy sudah amat mengantuk
tapi dia menahan matanya sehingga membuat matanya sayu. Tangannya memeluk erat
leher Ana sehingga itu membuat Ana sulit untuk pergi. Namun, Ana berusaha
bersabar menunggu sampai ia tertidur.
“Alhamdulillah,”
jawab Ana. Tangan yang memegang erat lehernya telah terlepaskan, kelopak mata
yang indah telah tertutup meskipun terdapat butiran air mata di sekelilingnya
yang membuat matanya bengkak. Perlahan- lahan, Ana berdiri dan memindahkan
Rifqy ke tempat tidur. Sesekali, Rifqy pun tersadar dari tidurnya dan tetap
menggenggam dan memeluk Ana. Kemudian, Ana pun memilih untuk berbaring
disebelahnya dan memejamkan matanya serta mengelus- elus kepala Rifqy. Setelah
itu, Rifqy pun tertidur pulas. Namun, prihatinnya ketika Ana ingin beranjak
dari tempat tidur. “Ummi, ummi, ummi.” kata Rifqy dalam bunga tidurnya.
Hal
itu, membuat Ana tak tega untuk meninggalkan Rifqy dan menitipkan dengan
keluarganya yang lain. “Kamu harus kuat hati Ana, jangan menjadi wanita lemah.
Bagaimanapun kondisi, harus tetap tersenyum dan semangat dalam mencari dan
meraih ilmu.” Kata- kata motivasi yang diucapkan Ana untuk dirinya sendiri.
Karya : Hamba Allah