Selasa, 27 Mei 2014

Rumah Taubat



Rumah Taubat
Ya Robb……………
Mengapa Engkau biarkan rumah kami berdiri
Mengapa Engkau biarkan rumah kami berpenghuni
Mengapa Engkau iznkan, Berisikan rakyat jelata
Ya Robb……………..
Engkau yang member nikmat kepada kami
Nikmat yang  tanpa ada batasan
Yang senantiasa kami hambur-hamburkan
Ya Robb……………..
Engkau Maha Tau Segala-galanya
Janganlah Engkau berikan nikmat yang berlebihan kepada kami
Sehingga, kami lupa mengingatMu
Ya Robb………………….
Berikanlah nikamat yang cukup bagi kami
Agar kami senantiasa menyukuri atas nikatMu
Ampuni kami ya, Robb…,yang senantiasa melupakanMu



                                                                                              Rarai, malam minggu 24 mei 2014

Rabu, 21 Mei 2014

PUISI CINTA



Cinta
Tersenyumlah saat kau mengingat ku
Karna saat itu aku sangat merindukan mu, dan
Menangislah saat kau merindukan ku
Karna saat itu aku tak berada di samping mu
            Tetapi, pejamkanlah mata indah mu itu
            Karna saat itu aku akan terasa ada di dekatmu
            Karna aku telah berada di hati mu untuk selamannya
            Tak ada yang tersisa lagi untuk ku, selain kenangan-kenangan yang indah bersama mu
Mata indah yang dengannya aku biasa melihat keindahan cinta
Mata indah yang dahulu adalah milikku, kini semuanya terasa jauh meninggalkan ku
Kehidupan terasa kosong  tanpa keindahannmu
Hati cinta, dan rinduku adalah  milik mu
            Cintamu takkan pernah membebaskan ku
Bagai mana  mungkin aku terbang mencari cinta yang lain
            Saat sayap-sayapku telah patah karena mu
            Cintamu tetap akan tinggal bersama ku, Hingga akhir hayat ku,dan setelah kematian……
Hingga tangan tuhan akan menytukn  kita lagi
Betapapun hati telah terpikat  pada sosok terang dalam kegelapan,
 Yang telah menghidupkan sinar redupku, namun tak dpat menyinari
Dan menghangatkan persaan ku yang sesengguhnya
            Aku tidk pernah bisa menemukan  cinta yang lain, selin cinta mu
            Karna mereka tak tertandingi oleh sosok dirimu dalam jiwaku
            Kau takkan terganti,  bagai pecahan logam mengekalkan, kesunnyian, kesendirian, dan kesedihan ku
            Kini aku telah kehilangannmu






Senin, 19 Mei 2014



Subbahannallah, Kitap Suci Al-Quran Raksasa, Mengenang sebuah sejarah perkembangan Islam 1000an tahun yang lalu,Al-Quran ini, asli bertulisan tinta hitam yang di rangkai oleh manusia dan para malaikat dulunya"Tutur penjaga" yang kami tannya.
Al-Quran ini senganja di titipkan di salah satu perpustakaan di Perguruan tinggi di provinsi  Bengkulu, oleh pemiliknya yang kebetulan mendapatkan tugas atau mandat di Bumi Raflesia ini.


#Perpustakaan_Universitas Bengkulu

Rabu, 14 Mei 2014

SELIPAN HUJAN HATI



SELIPAN HUJAN HATI
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Asyhadu alaa ilaaha illallah
Wa asyhadu annaa muhammdarrasulullah

Ya Rab,,,,
Atma (jiwa) ini lemah,
ibarat daun kering. Tatkala digenggam, maka! seketika akan remuk dan hancur,,,
Atma ini tak bernafas,
ibarat tanah gersang yang tiada terpancar kehidupan.
Jika dicangkul, maka! Patahlah ia seketika……
Engkaulah yang Maha Pemberi Kehidupan dan Kekuatan
Tanpa nikmat dan rahmat- Mu
atma dan raga ini
tiada kuat menahan segala cobaan dan rintangan di hadapan mata
Diri ini, tiada berilmu dan rendah di hadapan- Mu
ilmu yang melekat dapat dihitung dengan jemari
Tanpa kekuatan- Mu
Diri ini kian tersungkur.
Maka dari itu, tolong dan lindungilah diri yang berlumur dosa ini, dalam menempuh kesuksesan di jalan- Mu.
Jauhkanlah segala kekeliruan dan tetapkanlah dalam keistiqomahan,,,,,,,,
Dan diri ini sangat memohon, Ya Rabb
jagalah hati orang tua yang telah menjaga dan memelihara diri ini dengan penuh kasih sayang dan tempatkanlah mereka disebaik- baiknya tempat yaitu surga-Mu yang mengalir sungai di bawahnya serta pertemukanlah kami di sana layaknya penghuni surga.
Di mana kehidupan dunia yang penuh gemerlap kebahagiaan sungguh menggoyah keimanan.
Karena itu, tunjukilah kami jalan yang lurus yaitu jalan yang Engkau rahmati,,,
Bukan jalan orang- orang yang Engkau murkai,,,,,,,,

Wasalallaahumma ‘ala syaidinaa Muhammad
wa ‘alaa aalihi  wa shohbihi wa sallim.

Aamiin ya rabbal ‘aalamiin….


            Tanpa tersadari hujan hati bergelimang dan membasahi pipi Ana. Seusai ia sholat tahajud seraya berdo’a dengan penuh kekhusyu’an, ia pun membaca al- qura’an yang mana itu merupakan sahabatnya yang selalu menerangi tiap langkahnya.
Tiada terasa, pengumuman kelulusan SMA pun akan segera dipublikasikan esok hari. Perasaan yang penuh harapan mengalir di jiwa. Dengan seketika, jantung pun berdetak kencang hingga membuat aliran darah berdesir- desir. Seusai bersiap- siap, Ana pun segera berangkat ke sekolah meskipun perasaan penasaran mengarungi jiwa. “Bunda, ayah. Mohon do’a kesuksesannya ya.” Kata Ana. “Ia anandaku tersayang. Do’a kami selalu menyertaimu, anandaku. Hati- hati di perjalanan.” Jawab orang tuanya sambil mengelus- elus kepalanya. “Assalammu’alaykum bunda, ayah.” kata Ana sambil mencium kedua tangan yang sangat berjasa di dalam hidupnya. “Wa’alaykumsalam wr.wb.” jawab orang tuanya dengan penuh rasa kasih sayang.
Pohon rindang nan besar telah terlihat dari kejauhan. Tampaklah kehijauan yang memancarkan keindahan yang merona dan menyejukkan jiwa karena kuasa- Nya yang telah memberikan kehidupan. Perjalanan, dekat kian mendekat di Musholah yang ia dan para sohibnya amat cintai. Yang mana, itu ialah salah satu tempat yang sering mereka tempati dalam berjuang menempuh kesuksesan di Jalan- Nya. Sesampainya, ia langsung melangkahkan kakinya untuk melaksanakan rutinitasnya yaitu sholat dhuha. “Assalammu’alaykum,” kata Ana. “Wa’alaykumsalam, Ana coba rasakan detak jantungku berdebar- debar terus seakan- akan tidak akan berhenti kecuali pengumumannya telah diperdengarkan.” Jawab sobatnya mendesak Ana. “Ia Vi, apa yang dirasakan sama dengan apa yang Ana rasakan. Tenang aja, kita kan sudah berusaha dan berdo’a semaksimal mungkin dan semampunya. Ana yakin apa yang telah kita usahakan selama ini bersama sobat lainnya tak akan sia- sia.” Jawab Ana dengan senyuman. Ana pun mengelus bahu sobatnya sembari meninggalkannya untuk melaksanakan rutinitas seperti sobat- sobatnya yang lain.
Semuanya telah dikumpulkan di Aula sekolah untuk mendengarkan pengarahan dari Kepala Sekolah.  Setelah itu, Ana dan sobat- sobatnya yang lain pun segera memasuki ruangan kelasnya masing- masing dengan kondisi jantung yang terus berdebar- debar dengan diikuti desiran aliran darah yang begitu deras.
 Kemudian, seusai semua amplop pengumuman dibagikan mereka berkumpul di bawah pohon beringin yang suasananya begitu sejuk dan nyaman. Lalu, mereka sepakat untuk mebukanya secara bersamaan. “Ayo, sudah siapkah semuanya???” kata Ana. “Insya Allah sudah siap,” jawab sobat- sobatnya dengan penuh keyakinan namun terselip ketegangan. “Bismillaahirrahmaanirrahiin. Mulai ya! 1, 2, 3. Di buka!” aba- aba dari Ana. “Kreeeeek, krek, kreeeeeeek”, setelah semuanya membuka amplop dengan mengintip- ngintip apa yang tertera di sana. Semua wajah yang terpancar dari mereka ialah wajah kebahagiaan yang tentunya beda dengan teman- teman yang lain. Karena, mereka mengerjakan soal- soal ujian dengan penuh kejujuran dan kejujuran itu sulit untuk dilaksanakan oleh siswa/i yang sedang mengikuti Ujian Nasiaonal. Karena, mereka berfikir hanya untuk memperoleh nilai saja tanpa memikirkan akhlak dan ilmu apa yang telah melekat dalam diri mereka selama jenjang pendidikan yang telah dilalui. Seharusnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin baik pula akhlak yang terbentuk dan melekat dalam diri seseorang. Mereka amat menjunjung tinggi sifat jujur. Karena, itu merupakan salah satu dari sifat- sifat rasul.
Dengan serentak mereka mengucapkan lafal hamdalah, ”Alhamdulillaahirabbal’aalamiin” Perasaan terasa ringan dan hati pun menjadi tenang sehingga memancarkan cahaya keceriaan dan kenyamanan di wajah. Mereka semua pun berpelukan dengan keadaan bergelimangan air mata. Air mata yang jatuh merupakan hujan hati karena uap kebahagiaan akan perjuangan yang mereka lewati bersama- sama. Hujan badai, terik panas matahari yang terkadang membuat jiwa raga mereka menjadi kedinginan, kepanasan yang menimbulkan kelaparan dan kehausan. Mereka pun seraya bertakbir dengan mengangkat genggaman mereka dengan penuh semangat dan syukur, “Allaahuakbar.”
Hati mereka pun tergerak untuk melangkahkan kaki menuju tempat penenangan pikiran yang sering mereka kunjungi sewaktu kepala mereka mulai terasa melewati batas memori untuk berjuang mengisi peluru dan berperang menuntaskan semua soal- soal Ujian Nasional dengan penuh keyakinan dan konsentrasi. Namun, suara adzan yang menyejukkan hati pun telah berkumandang dengan indahnya. Mereka pun lebih memilih untuk sholat terlebih dahulu.
Setelah sholat ashar mereka langsung ke tempat tujuan. Mentari sore begitu indah yang menyilaukan pandangan mata, angin sepoi- sepoi melintas di sekitar mereka yang sesekali menyingkap jilbab mereka namun begitu sejuk dan nyaman. Pepohonan cemara dan kelapa melambai- lambai dengan begitu tenang seakan- akan menyapa mereka dengan ceria dan bahagia melihat lukisan wajah mereka yang begitu tenang dan bahagia. Ombak air menepis bebatuan yang memercikkan butiran air ke arah mereka. Langkah kaki dihentakkan di tepi lautan dengan penuh semangat. Langkah lari- larian kecil meninggalkan jejak di pasir putih yang lembut. Pancaran sinar mentari membuat air lautan berbinar- binar bagaikan mutiara. Tawa dan canda mewarnai hari- hari mereka dan sinar mentari menyerap di jiwa seakan- akan memberikan energi keistiqomahan dalam diri mereka.
Tiba saatnya untuk persiapan SNMPTN tertulis, layaknya seperti UN mereka berjuang dan saling mendo’akan satu sama lain. Namun, Ana lebih memilih untuk menulis novel ketimbang belajar penuh untuk SNMPTN. “Ana aku jarang lihat kamu belajar untuk tes SNMPTN,” tanya sohibnya yang lain. “Iya, Ana hanya belajar tes TPA nya saja,” jawab Ana dengan santai sembari tersenyum.
Tidak terasa satu bulan telah terlewati, hari ini permulaan untuk tes SNMPTN. Ana mengerjakan soal- soal SNMPTN dengan penuh percaya diri. Walaupun, ia hanya belajar sedikit. Itu pun tentang tes TPA. Sedangkan tes mata pelajaran yang lainnya pun, ia hanya mengandalkan ingatan apa yang ia pelajari di saat berjuang dalam menempuh UN bersama sohib seimannya.
Sesampainya di rumah, mata tertuju padanya. Tatapan yang diberikan ialah tatapan kesedihan. Lukisan wajah begitu suram. Hatinya pun berkata- kata dan perasaan penasaraan mengarungi jiwanya. “Umi, umi Rifqy dan Daffa digilas truk. Kepalanya!!!” kata keluarganya dengan penuh kesedihan yang membuat aliran hujan hati bergitu deras. Dengan seketika, Ana pun tersentak dan terduduk seraya mengucapkan “Innaalillahi wa inna ilaihi raaji’uun.” Mata Ana berkaca- kaca yang mengakibatkan turun hujan hati yang membasahi pipinya. Hari telah sore, sebentar lagi akan maghrib. Ana menahan dirinya untuk pergi ke sana. Namun, ia hanya bisa melihat lewat siaran TV di wilayahnya. Raga yang telah terbujur kaku diangkat oleh penduduk di sekitar sana ke mobil dan membawanya ke Rumah Sakit. “Guru SMPN 10 yang bernama Anita digilas truk saat menuju ke sekolah di mana tempat ia mengajar. Awalnya, ada seseorang anak sekolah menyerempetnya sehingga ia terjatuh dan na’asnya lagi ketika itu sedang ada truk batu bara yang melintas dengan kecepatan tinggi sehingga tidak dapat terkendali dan mengakibatkan guru tersebut tergilas dengan keadaan kepala yang remuk bahkan seperti lempengan. Sedangkan suasana di keluarganya begitu memprihatinkan. Berikut tayangannya!” Ana hanya terdiam menonton tayangan TV itu dan mengelus dadanya seraya mengucapkan lafal istighfar. Dia hanya berkata- kata di dalam hatinya dan sejenak ia teringat dengan apa yang tantenya sampaikan di minggu kemarin, “Bungsu, nanti mau jadi apa? Guru ya! Jadilah guru, supaya bisa gantikan tante.” Ucapan almarhum yang hanya bisa Ana jawab dengan senyuman.
Semuanya telah rapi, Ana dan sohibnya beserta keluarganya berangkat untuk takziah. Ana dan sohibnya larut dalam cerita sambil memandang indahnya titik- titik  bintang yang berbinar- binar di Langit. Mata mereka pun berkaca- kaca. “Stop, ayo, ayo mau menangis ya?” kata mereka dengan serentak dan saling menunjuk satu sama lain. Karena itu, tangis mereka pun tertahankan.
Ramainya langkah kaki dan kepala yang mendatangi rumah orang tua tantenya, mata bengkak, wajah yang begitu merah, ribuan tisu telah terpakai, nada bicara yang tersendak- sendak, raga yang gemetaran dan perasaan haru yang menelan suasana malam itu. Memandang anandanya yang masih berumuran kecil bahkan belum sekolah dan ada yang belum bisa duduk. Melihat peteknya, yaitu abinya menggendong mereka dengan wajah sedih dan lesu. Ana terus memandang dua wajah mungil yang digendong hingga tertidur dipelukan abinya. Namun, pelukan itu terasa berbeda dengan pelukan dan dekupan hangat seorang Bunda. Kehangatan pelukan dan dekupan itu telah pergi meninggalkan mereka. Sesekali mereka tersentak dari tidurnya dan seraya berkata, “Abi, mana ummi? Ummi bi? Ummi bi? Ummi mana, bi? Mau sama ummi?” ucapan tanpa dosa yang begitu murni kerinduannya terhadap seorang Bunda. Lagi- lagi mata mereka berkaca- kaca.
Sepulang dari sana, Ana bersama yang lainnya pamit untuk pulang dan mencium pipi dua wajah mungil yang tanpa dosa. Pekat dan terlukis bekas kesedihan di wajah mungil itu dengan tangisan kerinduan. “Tek, Ana pulang dulu ya. Sabar ya, tek?  Assalammu’alaykum,” kata Ana dengan mata yang berkaca- kaca. “Ya dik, insya Allah akan mencoba untuk bersabar dan mengikhlaskan tantemu. Wa’alaykumsalam.”
Sesampainya Ana di rumah, ia langsung menuangkan isi hatinya yang terpancar dari kesedihan apa yang sedang dirasakan dengan si mungil yang lucu.

Cahaya pelita

Seberkas sinar memasuki hati
kehangatan bermuara di jiwa
mengalir deras di aliran darah
seketika! detak jantung yang berlari
kian berjalan
melangkah dengan santainya
nyaman,
hangat,
tenteram dan
kesejukan
menghiasi diri
hanya!
dengan dekupan hangat
sang permata hati,
cahaya pelita
Ummi
ummi
ummi
seketika kehangatan itu lenyap
cahaya pelita kian meredup
kesejukan berganti kegerahan
aliran darah berombak
detak jantung kian berhenti
kemanakah diri ini mencari dekupan itu?
sendiri dalam gelap malam
tiada cahaya, menahan geman
tubuh ini bergetar
memproduksi keringat
detak itu dan aliran itu
terombang- ambing
berharap sandaran
namun, tak kunjung tiba
sandaran siapakah harus dipinta?
kelopak mata tersadar dari bungkaman
pandangan bersinar
deraian air mata terhapuskan
keresahan seketika berubah
seperti sedia kala
yaitu kesejukan
hanya dengan setitik cahaya
dari- Nya
bersandar dengan- Mu
ialah
jalan menuju rahmat dan ridho- Mu
yang membersihkan
kapas putih dari hitamnya
Cahaya- Mu
penuh cinta dan kasih
kan diri ini genggam erat


            Tak terasa air mata terjatuh di buku diarinya yang menyebabkan tinta emasnya menyebar. “Semuanya itu, ialah milik Allah. Jadi, sesuai kehendak Dia. Mau kapan dan dimana pun merenggut sesuatu atau seseorang yang amat kita cintai. Kita, jangan sampai cinta akan Dunia yang fana ini, yang penuh godaan sehingga terkadang iman dan taqwa kita sering berfluktuasi. Semangat Ana! Hapuslah kesedihan dan jangan larut dalam kesedihan!” ucapan Ana untuk membangkitkan dirinya.
            Beberapa hari kemudian, Ana dipinta untuk mengasuh si mungil Rifqy. Karena, keluarga yang lainnya sedang sibuk dengan urusan mereka masing- masing. Sedangkan adiknya, telah dititipkan kepada saudara abinya yang memang bahagia dengan kehadirannya. Karena, sudah sepuluh tahunan keluarga saudaranya yang telah menikah belum dikaruniai anak. Melihat dikeluarganya sulit untuk memperoleh keturunan, Ana pun menjadi was was. Karena, jika seorang wanita dinyatakan mandul maka wanita itu akan merasa gagal menjadi istri dan kebahagiaan tak akan lengkap tanpa kehadiran buah hati.
            “Ini bang, bungsu datang. Tadi cari- cari bungsu. Ini bungsunya. Abang main sama bungsu ya. Abi mau kerja dulu ya. Jangan nakal ya?” kata Abinya sambil merayu anaknya. “Ehm, iya bi. Hati- hati ya bi. Jangan ngebut bi.” Jawab anak umur 4 tahunan yang sudah bisa menasihati abinya. Ana pun memeluk dan mencium Rifqy dengan penuh kasih sayang. “Abang sudah makan?” tanya Ana. “Belum, nggak mau makan!” jawabnya. “Ntar kalo abang nggak makan, bisa sakit lho. Nah, gini aja! Kalo abang mau makan nanti bungsu putarin kaset kartunnya.” Kata Ana berusaha merayunya. “Ehmmm, tapi abang mau telurnya didadar. Nggak mau pakai bawang.” Balas si mungil. Melihat dan memandang wajah yang masih merindukan dekupan seorang bunda. Dengan tangannya, ia memasak dan menyuapnya makan         sekaligus menidurkannya. Ana berfikir, “Jadi beginilah tugas seorang ibu dalam merawat buah hatinya. Ya Allah, begitu besar jasa seorang ibu bagaikan buih di Lautan yang tak terhingga. Subhanallah.” Karena kekenyangan, Rifqy pun mengantuk kemudian tertidur dipangkuannya. “Ya Allah, tabahkanlah kami dan semoga ananda- anandanya bisa menjadi anak yang sholeh dan imam yang baik.” Seraya Ana berdo’a di dalam hatinya. Tampak begitu lesu dan letih ketika sudah berhari- hari tidak bisa tertidur pulas. Wajah mungil tanpa dosa telah ditinggalkan oleh satu dekupan hangat.
            “Mana bungsu? Bungsu? Abang mau sama bungsu! Bungsu!” tangisan si mungil mengejutkan semua penghuni rumah. “Ana, cepat pulang. Rifqy cari- cari kamu.” Ketikan sms dari keluarga lainnya.
            “Ini, abang qy dari tadi sudah dibujuk tapi tetap nggak mau bersihkan bekas kotorannya yang cukup sudah lama menumpuk dicelananya. Katanya mau dibersihkan sama bungsu aja dan nggak mau dengan yang lain.” Kata keluarga Ana yang lain dan tampak kualahan menjaga Rifqy ketika ditinggalkan Ana meskipun hanya sebentar.
            “Ya Allah, dengan ini Engkau telah mengajarkan aku tentang dahsyatnya perjuangan seorang ibu.” Seraya Ana berdo’a, sembari membersihkan kotoran adiknya Rifqy.
            Semenjak itu, hari demi hari Ana habiskan untuk menemani Rifqy yang tampak kesepian dan rindu akan kehangatan yang telah lenyap meninggalkan dirinya. Terik matahari telah terpancarkan dalam keadaan lurus, Ana kebingungan bagaimana cara pergi liqo’ sementara Rifqy belum mau tidur. Ana sudah coba merayu Rifqy tapi dia tetap nggak mau lepas dari pangkuan Ana. Sebenarnya, Rifqy sudah amat mengantuk tapi dia menahan matanya sehingga membuat matanya sayu. Tangannya memeluk erat leher Ana sehingga itu membuat Ana sulit untuk pergi. Namun, Ana berusaha bersabar menunggu sampai ia tertidur.
            “Alhamdulillah,” jawab Ana. Tangan yang memegang erat lehernya telah terlepaskan, kelopak mata yang indah telah tertutup meskipun terdapat butiran air mata di sekelilingnya yang membuat matanya bengkak. Perlahan- lahan, Ana berdiri dan memindahkan Rifqy ke tempat tidur. Sesekali, Rifqy pun tersadar dari tidurnya dan tetap menggenggam dan memeluk Ana. Kemudian, Ana pun memilih untuk berbaring disebelahnya dan memejamkan matanya serta mengelus- elus kepala Rifqy. Setelah itu, Rifqy pun tertidur pulas. Namun, prihatinnya ketika Ana ingin beranjak dari tempat tidur. “Ummi, ummi, ummi.” kata Rifqy dalam bunga tidurnya.
            Hal itu, membuat Ana tak tega untuk meninggalkan Rifqy dan menitipkan dengan keluarganya yang lain. “Kamu harus kuat hati Ana, jangan menjadi wanita lemah. Bagaimanapun kondisi, harus tetap tersenyum dan semangat dalam mencari dan meraih ilmu.” Kata- kata motivasi yang diucapkan Ana untuk dirinya sendiri.


Karya : Hamba Allah